Gunung Tambora: Perkasanya Gunung Tambora
Letusan gunung Tambora pada tahun 1815, akan selalu diingat oleh seluruh masyarakat dunia. Menggelegar dan mengejutkan penduduk nusantara pada saat itu.
Menyisakan kengerian dan kesengsaraan hingga beberapa tahun pasca-erupsi yang merenggut puluhan ribu jiwa tersebut. Gunung Tambora adalah gunung yang namanya selalu jadi buah bibir, kapan pun dan di mana pun.
Keberadaan Gunung Tambora menjadi sebuah legenda yang tidak mungkin hilang dari ingatan. Muntahannya yang dahsyat menjadi cerita yang sangat menyeramkan. Peristiwa dahsyat yang lahir dari gunung ini menjadi pelajaran tersendiri bagi manusia. Bahwa bencana itu bisa datang kapan pun, tanpa memberitahukan kapan ia akan datang.
Kemegahan Gunung Tambora sebagai salah satu kemegahan Indonesia. Sebuah kemegahan yang unik dan menjadi bagian tak terpisahkan dari negeri ini.
Gunung Tambora - Letusan Tahun 1815
Letusan tahun 1815 memporakporandakan dan meluluhlantakkan kehidupan di sekitar kawasan Gunung Tambora, yakni di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Barat). Beberapa perkampungan pun musnah tak tersisa, berikut semua penduduknya.
Disebutkan dalam beberapa sumber sejarah, gemuruh dari gunung mulai terdengar dan terasa oleh penduduk sekitar pada tahun 1812. Jadi, tiga tahun sebelum letusan maha dahsyat itu terjadi, Tambora telah menunjukkan geliatnya.
Bukan hanya gemuruh dari kaldera (kawah), tapi awan hitam hasil proses ‘penggodokan’ magma dalam perut gunung yang sempat tidak aktif selama beberapa abad tersebut pun memperlihatkan tanda-tandanya.
Gunung Tambora memang mengalami fase ketidakaktifan sebelum tahun 1815. Fase ini disebut dengan nama gunung berapi ‘tidur’. Fase saat gunung tidak menunjukkan aktivitas layaknya gunung berapi.
Seperti tidak terdapatnya kawah aktif dan mengepulkan asap serta suara gemuruh hasil proses pembakaran dalam ‘perut’ gunung.
Namun pada fase gunung berapi ‘tidur’, aktivitas di dalam ‘dapur magma’ tetap berlangsung di kedalaman sekitar 1,5 - 4,5 km menuju pusat bumi. Berupa terbentuknya larutan padat magma bertekanan tinggi. Hasil dari pendinginan dan penghabluran (pengkristalan) magma. Menunggu waktu yang ‘tepat’ untuk dikeluarkan ke permukaan.
Waktu yang ‘tepat’ itu terjadi pada 5 April 1815. Terekam dalam ingatan masyarakat dunia sebagai letusan gunung berapi terdahsyat. Hanya letusan dari gunung di Danau Taupo pada tahun 181 Masehi yang dapat menyamainya.
Dampak Letusan Gunung Tambora
Adapun untuk dampaknya, pada awal mula letusan, Gunung Tambora mengeluarkan suara gemuruh yang terdengar hingga Kota Makassar (380 km dari Tambora), Kota Jakarta yang saat itu bernama Batavia (1.260 km dari Tambora), dan Kota Ternate (1.400 km dari Tambora). Dapat terbayang betapa hebat suara gemuruh dari gunung berapi itu.
Bahkan, kota-kota di Pulau Sumatra yang berjarak 2.600 km dari Gunung Tambora pun mendengar gemuruhnya pada beberapa hari setelah letusan awal, yakni sekitar tanggal 10 dan 11 April.
Diceritakan dalam beberapa sumber sejarah, gemuruh letusan di kota-kota itu terdengar seperti letusan senapan hingga menyerupai bunyi meriam perang yang ditembakkan.
Gelegarnya sampai membuat Belanda di Yogyakarta mengirimkan satu detasemen tentara menyusuri beberapa tempat. Pemerintah kolonial mengira ada penyerangan dari penduduk pribumi atau kerusuhan yang terjadi.
Begitu juga dengan hamburan abu vulkanik yang berjatuhan hingga ke Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku dengan tebal sekitar 1 cm. Begitupula bau nitrat, zat khas ‘muntahan’ dari gunung berapi tercium santer oleh warga kota di Batavia, menyeruak dan menyesakkan rongga pernapasan.
Ketika hujan terjadi, untuk beberapa lama airnya tak bisa diminum karena bercampur dengan campuran zat berbahaya dan bebatuan dari Gunung Tambora.
Letusan dahsyat itu juga menyebabkan naiknya permukaan air laut dan memicu tercipta gelombang tinggi (tsunami) yang menghantam pesisir Pantai Jawa Timur dan Kepulauan Indonesia Timur.
Dengan ketinggian tsunami berkisar antara 2 - 4 metar, mengakibatkan beberapa perkampungan nelayan lenyap ditelan ombak. Merenggut puluhan ribu jiwa, termasuk harta bendanya.
Puncaknya, Gunung Tambora yang sebelumnya termasuk salah satu gunung tertinggi di kawasan Asia Tenggara, pasca letusan, berubahlah ‘penampilan’ gunung tersebut selama-lamanya.
Walau tidak sampai menghancurleburkan gunung hingga tak tersisa seperti pada letusan Krakatau, tapi membuat sepertiga gunung musnah. Yakni menjadi berketinggian 2850 meter di atas permukaan laut, dari sebelumnya setinggi 4300 meter di atas permukaan laut.
Selain menimbulkan dampak di kepulauan nusantara, letusan dahsyat 1815 pun membawa dampak atau kerugian bagi penduduk dunia. Pasca letusan Gunung Tambora, terjadi perubahan iklim dunia dan mewabahnya kelaparan di dua benua (Amerika Utara dan Eropa).
Kelaparan massal itu berawal satu tahun setelah letusan, yakni tahun 1816. Dimulai dengan musim dingin yang lebih panjang dan dingin dibanding beberapa abad sebelumnya di kawasan Amerika Utara dan Eropa. Lalu disusul musim panas yang tidak terjadi sehingga tahun 1816 dikenal dengan nama ‘tahun tanpa musim panas’.
Perubahan iklim secara ekstrim ini menggagalkan panen pertanian di kedua benua tersebut. Disusul oleh kematian hewan ternak karena tak tahan dengan udara yang semakin dingin dan membeku.
Akibatnya, dampak fatal berupa merajalelanya kelaparan, dialami sebagian besar penduduk. Bahkan, kondisi memiriskan itu tercatat sebagai bencana kelaparan terparah di sepanjang abad ke-19.
Gunung Tambora Kini
Hampir satu abad lamanya kawasan di sekitar Gunung Tambora baru dinyatakan aman untuk kembali ditinggali oleh manusia. Termasuk dijadikan tujuan pendakian atau penelitian keragaman ekosistem di sana. Sebelumnya, kawasan sekitar gunung masih rawan dengan gas-gas beracun dan kondisi tanah yang labil.
Belum ada manusia yang berani menjejakkan kakinya. Kalau pun ada, hanya segelintir orang yang tujuannya sekadar berpetualang atau melakukan ekspedisi penelitian.
Tercatat pada tahun 1917, mulai ada penduduk yang terlihat membangun perkampungan di kaki Gunung Tambora. Tahun 1930-an, jumlah penduduk semakin banyak disusul dibukanya area perkebunan kopi di lereng sebelah barat laut gunung. Perkebunan kopi tersebut dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda dengan luas mencapai 80.000 hektar.
Tahun 1933, sekelompok tim ekspedisi dari Belanda di bawah pimpinan Koster dan De Voogd, berhasil menemukan hutan hujan di Gunung Tambora.
Kemudian menemukan beragam spesies tumbuhan atau pepohonan di hutan Montane pada ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut, lalu Dodonaea viscosa dengan dominasi pohon Casuarina pada ketinggian 1800 meter diatas permukan laut.
Kemudian, saat mencapai puncak, tim ekspedisi menemukan Anaphalis viscida dan Wahlenbergia dalam jumlah terbatas. Penemuan ini jadi titik awal bagi ekspedisi-ekspedisi selanjutnya yang mengeksplorasi kehidupan di gunung pasca letusan hebat tahun 1815.
Untuk satwa atau hewan, banyak dijumpai puluhan jenis spesies burung seperti murai Asia, kakatua kecil jambul kuning, tiong emas, perkici pelangi, ayam hutan hijau, gosong berkaki jingga, dan jenis-jenis spesies lain.
Dengan begitu, Gunung Tambora pun dikenal sebagai surga bagi para burung. Sayangnya, beberapa di antara spesies burung tersebut sudah termasuk hewan langka karena diburu untuk tujuan komersil (diperjualbelikan) atau menjadi hewan peliharaan penduduk setempat.
Kini, jejak dari kedahsyatan letusan Gunung Tambora masih dapat dilihat dan dirasakan. Selain adanya kawasan yang tandus dan kering sisa erupsi lava, di puncak gunung pun terdapat bentangan kawah aktif menggelegak.
Menebar ancaman setiap saat, bahwa gunung ini dapat meletus kembali dengan letusan yang setara atau bahkan lebih kuat daripada tahun 1815.
Posting Komentar untuk " Gunung Tambora: Perkasanya Gunung Tambora"